Dampak Kebijakan Efisiensi Anggaran terhadap Industri Perhotelan

KILAS BISNIS - Industri perhotelan di Indonesia mengalami kelesuan bisnis akibat kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah. Dampak kebijakan ini disebut-sebut menyerupai kondisi saat pandemi Covid-19, yang mengakibatkan penurunan jumlah tamu dan aktivitas di berbagai hotel, terutama di kota-kota besar seperti Bandung.
Dampak Langsung: Penurunan Okupansi dan Minimnya Acara
Seorang pekerja hotel bernama Kampleng, yang bekerja di sebuah hotel bintang lima di Bandung, mengungkapkan bahwa suasana hotel tempatnya bekerja menjadi sangat sepi, hampir tidak ada tamu yang menginap maupun acara yang menggunakan ruang pertemuan.
"Biasanya, kalau ada kegiatan seperti meeting atau rapat oleh PNS, banyak juga yang menginap. Sekarang, jangankan event, tamu yang menginap saja hampir tidak ada," ujar Kampleng.Kondisi ini semakin diperburuk dengan minimnya forecast pemesanan kamar dan function room untuk bulan April 2025. Kampleng mengungkapkan keprihatinannya dengan menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada pemesanan yang masuk.
Kebijakan "No Day Worker" dan Beban Tambahan bagi Karyawan
Manajemen hotel telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi penurunan pendapatan, salah satunya dengan menerapkan kebijakan "No Day Worker" atau tidak memperkerjakan pekerja harian lepas. Akibatnya, pekerjaan yang biasanya ditangani oleh staf tambahan kini harus dikerjakan oleh manajer, asisten manajer, serta supervisor. Mereka bahkan harus turun tangan untuk tugas-tugas operasional, seperti mencuci piring dan membuang sampah.
"Sudah sebulan ini, manajemen memberlakukan kebijakan No DW (Day Worker). Jadi, pekerjaan yang biasanya dilakukan staf harus dikerjakan oleh atasan," tambah Kampleng.Pendapatan Menurun, Harapan pada Musim Liburan
Indikasi lain dari penurunan bisnis hotel adalah berkurangnya pendapatan dari uang service, yang biasanya diterima karyawan sebagai tambahan penghasilan. Sepanjang Maret 2025, kondisi ini sedikit terbantu oleh acara buka puasa bersama, meskipun jumlah pemesanan tidak menentu, berkisar antara 100 hingga 400 paket per hari.
Namun, situasi di beberapa hotel lain lebih parah. Ada hotel yang sama sekali tidak memiliki tamu menginap maupun pesanan acara berbuka puasa.
"Kalau hotel lain malah lebih parah. Tamu yang menginap tidak ada, pesanan iftar juga nihil. Benar-benar parah," keluh Kampleng.Salah satu harapan terbesar bagi industri perhotelan adalah peningkatan jumlah tamu menjelang Hari Raya Idulfitri. Biasanya, pada H-7 Lebaran, banyak tamu dari kalangan menengah ke atas memilih menginap di hotel karena asisten rumah tangga mereka mudik ke kampung halaman.
"Teman saya bilang, nanti kalau sudah dekat Lebaran, banyak tamu yang menginap. Parkiran mobil pasti penuh," ujar Kampleng menirukan pernyataan rekannya yang lebih senior.Namun, pada Jumat, 28 Maret 2025, Kampleng melihat bahwa tingkat hunian hotelnya hanya mencapai 30%, dengan banyak tempat parkir masih kosong. Hal ini memicu kekhawatiran lebih lanjut tentang prospek bisnis perhotelan dalam waktu dekat.
Ancaman PHK jika Kondisi Tidak Membaik
Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan berdampak pada pengurangan gaji karyawan dan bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Banyak pekerja hotel berharap situasi ini segera membaik agar industri perhotelan dapat kembali pulih seperti sediakala.