Diduga Pungli Biaya Pendaftaran UNIBA Banten: Mahasiswa KIP Kuliah Di Wawancara Disyaratkan Bayar Her-Registrasi Rp2,45 Juta

Table of Contents


Kota Serang – Kilasbantennews.com Praktik Diduga pungutan liar (pungli) kembali mencoreng dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Kali ini, Universitas Bina Bangsa (UNIBA) Banten  dalam sorotan tajam publik setelah muncul laporan dan bukti yang menunjukkan bahwa kampus tersebut memungut uang pendaftaran sebesar Rp250.000 dan mewajibkan calon mahasiswa penerima KIP Kuliah membayar uang kata her-registrasi sebesar Rp2.450.000.

Parahnya, kewajiban membayar tersebut dijadikan syarat administratif untuk mengikuti wawancara seleksi—sebuah tahapan krusial dalam proses penerimaan mahasiswa baru KIP Kuliah. Dalam pengumuman resmi kampus bertanggal 14–26 Juli 2025, tertulis bahwa calon mahasiswa KIP Kuliah yang hendak mengikuti sesi wawancara wajib membawa fotokopi kwitansi her-registrasi berwarna biru, sudah memiliki NIM, serta telah mengisi formulir online.
Artinya, hanya mahasiswa yang sudah membayar yang diperbolehkan mengikuti proses seleksi lebih lanjut. Model seleksi semacam ini secara jelas dan terang benderang melanggar aturan negara.

Sesuai dengan Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 10 Tahun 2022, Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek nomor 13 tahun 2023 dan Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek nomor 7/A/KEP/2025 disebutkan dengan tegas bahwa proses seleksi dan pendaftaran bagi penerima KIP Kuliah wajib dilaksanakan secara gratis tanpa syarat dan pungutan dalam bentuk apa pun. Namun UNIBA Banten justru menjadikan bukti pembayaran sebagai tiket masuk seleksi, menciptakan sistem pemerasan yang dirancang sistematis di balik kedok akademik.

Ini bukan kelalaian administratif, melainkan indikasi kuat sebuah pola pungli yang disamarkan secara rapi dengan label “biaya administrasi”. Terlebih, kampus ini bukan kampus kecil atau tak dikenal. Pemiliknya adalah anggota aktif Komisi X DPR RI, komisi yang memiliki fungsi legislasi dan pengawasan di sektor pendidikan nasional, termasuk program afirmatif seperti KIP Kuliah.

Fakta ini menimbulkan konflik kepentingan serius, bahkan mengarah pada dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Seorang wakil rakyat yang semestinya menjadi pengawas dan penjaga integritas sistem pendidikan, justru diduga memanfaatkan posisinya untuk menyusun skema pemungutan liar kepada calon mahasiswa penerima KIP.

“Bayangkan, rakyat kecil yang seharusnya dibantu oleh negara justru duluan sebelum dapat haknya,” kata khoirul selaku aktivis formapera. “Ini bukan hanya pelanggaran moral, tapi bentuk nyata pengkhianatan terhadap mandat konstitusi.”

Lebih dari itu, skema ini tidak hanya sekadar memungut uang pendaftaran. Rp250 ribu untuk pendaftaran, ditambah Rp2,45 juta untuk her-registrasi, kemudian diwajibkan menjadi syarat formal untuk ikut wawancara. Rangkaian pungutan ini bertentangan secara langsung dengan semangat KIP Kuliah, yaitu membebaskan akses pendidikan bagi anak-anak bangsa yang tidak mampu secara ekonomi.

Formapera (forum mahasiswa peduli rakyat) menuntut agar Mendikbudristek, KPK, dan Satgas Saber Pungli segera turun tangan, melakukan investigasi menyeluruh dan audit terhadap manajemen kampus, termasuk penelusuran aliran dana dari pungutan her-registrasi dan pendaftaran tersebut. Bahkan, pemanggilan terhadap anggota DPR RI pemilik kampus dinilai mutlak diperlukan, sebagai bentuk penegakan etik dan akuntabilitas publik.

"Kalau dunia pendidikan sudah dikuasai oleh mafia berjubah akademisi, lalu ke mana rakyat harus mencari keadilan?" kritik tajam dari salah satu aktivis formapera banten.

Jika negara tidak hadir secara cepat dan tegas, maka kepercayaan terhadap program KIP Kuliah akan hancur, dan publik akan melihat program bantuan pendidikan hanya sebagai ilusi populis yang mudah dimanipulasi oleh elit berkuasa. (Tim-Red)