Epicureanisme dalam Menyeimbangkan Kepuasan dan Keadilan

Table of Contents


kilasbantennews.com Humas MA, Jakarta 
Selasa,26 Agustus 2025

Putusan yang menenteramkan adalah buah dari keberanian untuk melihat hukum dalam cahaya kemanusiaan.

Keadilan selalu menjadi dambaan, namun jalan menuju keadilan tidak jarang dipenuhi dengan pertentangan kepentingan dan emosi yang berkecamuk. Dalam pusaran itu, filsafat Epicureanisme menawarkan cara pandang yang menarik dengan menempatkan keseimbangan antara kepuasan dan ketenangan jiwa sebagai kunci kebahagiaan.

Prinsip ini, jika dibawa ke dalam ruang peradilan, dapat menjadi inspirasi bagi hakim dalam merumuskan putusan yang tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga menenteramkan jiwa pihak-pihak yang bersengketa.

Inti filsafat epicureanisme ini adalah pencarian kebahagiaan melalui hidup sederhana, menolak berlebihan, dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan ketenangan batin. Inilah titik relevansinya dengan peradilan, bahwa putusan hakim seharusnya tidak menimbulkan luka baru, melainkan menghadirkan ketenteraman.

Seorang hakim dihadapkan pada dilema antara teks hukum yang kaku dan realitas manusia yang kompleks. Epicureanisme memberi perspektif bahwa keadilan tidak cukup hanya dinilai dari aspek formal, tetapi juga dari sejauh mana putusan itu menghadirkan kedamaian sosial. Kepuasan dalam konteks ini bukanlah kenikmatan sesaat, melainkan rasa damai yang berkelanjutan bagi semua pihak.

Keadilan yang menenteramkan menjadi tujuan utama. Sebagaimana Epicurus mengajarkan bahwa kesenangan tertinggi adalah ketiadaan rasa sakit, demikian pula peradilan ideal seharusnya berupaya mengurangi penderitaan yang tidak perlu. Putusan hakim yang bijak mampu memutus rantai konflik, sehingga yang tersisa bukan lagi bara dendam, tetapi jalan menuju rekonsiliasi.

Kepuasan dalam putusan tidak berarti memanjakan semua pihak secara sama, melainkan mengarahkan mereka pada titik keseimbangan. Hakim dengan kearifan filosofis dapat melihat lebih jauh. Bahwa keputusan yang tepat adalah yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjaga harmoni, sehingga masyarakat tidak terjerumus pada lingkaran ketidakpuasan yang berulang.

Dalam kerangka Epicureanisme, kebahagiaan sejati tidak terletak pada kemenangan mutlak, melainkan pada kedamaian batin yang didapat ketika konflik diselesaikan. Prinsip ini mengajarkan hakim untuk tidak semata-mata menghitung untung-rugi, tetapi menimbang dampak psikologis, sosial, dan spiritual dari setiap putusan.

Putusan yang baik adalah yang mengandung nilai pedagogis, membimbing masyarakat untuk belajar dari konflik yang terjadi. Epicureanisme mengingatkan bahwa kesenangan sejati muncul ketika manusia belajar hidup bijak, menjauhi keserakahan, dan mencintai kesederhanaan. Hakim yang berlandaskan pandangan ini akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan putusan, karena sadar bahwa keadilan adalah sarana pendidikan moral.

Keseimbangan antara kepuasan dan keadilan tidak hanya menguntungkan pihak yang bersengketa, tetapi juga memperkuat legitimasi peradilan di mata masyarakat. Setiap putusan yang menenteramkan akan menumbuhkan kepercayaan publik, seakan peradilan bukan hanya mesin hukum, tetapi juga penuntun moral.

Kedamaian jiwa adalah nikmat yang hakiki. Putusan yang membawa kedamaian sejalan dengan ajaran agama yang memuliakan perdamaian, melarang kezhaliman, dan menuntut keadilan ditegakkan dengan kelembutan. Dengan demikian, filsafat ini dapat dipadukan dengan nilai spiritual, menjadikan keadilan tidak hanya legal, tetapi juga sakral.

Hakim yang menyeimbangkan kepuasan dan keadilan tidak hanya memutus perkara, melainkan menghadirkan ruang penyembuhan. Setiap sengketa bukan sekadar soal benar dan salah, tetapi juga tentang bagaimana jiwa-jiwa yang retak dapat dipulihkan.

Epicureanisme memberi cahaya bahwa keadilan dapat diraih tanpa menambah penderitaan.
Dalam ruang peradilan, kebahagiaan bukanlah utopia. Ia hadir ketika hakim mampu menimbang aspek hukum, moral, dan batin secara harmonis. Putusan yang dirancang dengan pertimbangan Epicureanisme menjadikan keadilan sebagai jalan menuju ketenangan kolektif, bukan sekadar kemenangan individual.

Keseimbangan ini sekaligus mencegah lahirnya kesewenang-wenangan. 
Hakim yang berlandaskan filsafat ini akan selalu mengingat bahwa kebahagiaan sejati hanya tercapai bila keadilan ditegakkan dengan arif. Putusan yang menenteramkan adalah buah dari keberanian untuk melihat hukum dalam cahaya kemanusiaan.

Dengan demikian, Epicureanisme memberi pelajaran berharga bahwa kepuasan dan keadilan bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Hakim yang mampu menyeimbangkan keduanya akan melahirkan putusan yang tidak hanya sah di mata hukum, tetapi juga diterima di hati nurani. Inilah keadilan yang sejati. Yaitu hukum yang menghadirkan kedamaian, menumbuhkan kebahagiaan, dan mengantar manusia pada ketenteraman yang diridai Ilahi 

(Tim-Red)